Selamat datang di Kawasan Penyair Banten. Terima kasih atas kunjungan Anda

Sabtu, 06 November 2010

Rini Intama


Lahir di Garut 21 Februari, tetapi tumbuh dan besar di Jakarta.
Kesukaan menulis dan belajar sastra sejak dibangku SMP, kemudian kuliah dijurusan Informatika dan bekerja diluar jalur sastra. Tetapi keinginannya tetap menjadi penulis.
Selain puisi juga menulis cerpen dan novel.
sudah dua buku Antologi Puisi yang diterbitkan yaitu
1.Ruang Jingga, Antologi Puisi 12 penyair jingga
2.Phantasy Poetica, Antologi puisi komunitas penulis muda

Perempuan itu menulis puisinya

pada sebuah lagu kutitip makna syair, nada dan irama yang sempurna
tentang perempuan yang meninggalkan tangisan
pada petapeta sajak di tubuhnya yang sunyi
serupa petualang yang memahat cinta hingga berlabuh di dermaga
Lalu memutuskan pulang dari perjalanan yang panjang

Perempuan itu menulis puisi,

Hidup ini ada di bawah kaki yang berdiri tegak di atas batu dingin
mengikuti jalan angin

Serupa lukisan abstrak yang bermakna besar
Serupa syairsyair cinta yang tak tertebak
Dari seorang penyair yang melagukan puisi rayuan semerbak mawar

cericit burung melempar ribuan tanya pada belukar

Berapa banyak anakanak lagikah akan lahir dari persetubuhan alam ?
Berapa banyak perempuan lagikah yang akan lahir dari rahim puisipuisi cinta ?
atau wajah penuh amarah yang akan lahir dari percikan api di langit malam ?

tapi bukankah kita terlahir untuk dan karena sebuah alasan
bahwa hidup serupa jalan di loronglorong waktu yang gulita
dan membaca kata di panggung kosong tanpa suara

Perempuan itu menghentikan puisinya,

Ah aku melangkah menghitung detik yang menimbun luka tanpa kata
tak perlu lagi ada tanya tentang berapa, apa dan bagaimana
hingga waktu bertanya dalam bahasanya, sampai di manakah perahu akan berlayar ?
memecah rindurindu menuju jalan kembali pada tanah asal

Maret 2011


Dipersimpangan yang lindap

ku tebas pedang karat di pucuk rindu senyap
ku pinang darah pekat di dada nafasku megap
di langit kisah kuat mengendap

roda pagi arah barat melintang merah lambat
angin resah suara lamat habis terlumat

debu debu sapu sendu

habiskan beku
habiskan waktu
habiskan rindu


:: sembilan Juni 2010
Rini Intama - dalam buku Phantasy Poetica


Lagu sang Hujan

Lagu sang hujan menarik larik
disetiap catatan peristiwa dalam jambangan cantik
ketika menemukan segaris senyum di dongeng lirik

Sang hujan berlari mengejar mimpi tak kunjung temu
keinginan menjadi sebuah kemustahilan di negeri angin
Langit kelabu menyanyikan lagu hujan

butir air adalah pesona kekalahannya yang patut
menepis keinginan, bertaruh nyawa
dan sebuah kata bermakna nama
yang mungkin carut marut
mengusung sorak penghuni bumi

Tapi sang hujan mematut diri
sebagai kelayakan dalam cermin usang
dan coreng warna jelaga
Langit tetap memerah
lagu sang hujan mengalun

Delapan April 2010


Puisi Hati - Sebuah puisi kecil

mengerti secara sederhana saja
tak menghilang makna
seperti doa dan cerita dini hari
menyaji diri dengan teropong hati


Tgr 6 Sept 2010


Layanglayangmu

kau datang tanpa mawar
Hanya benang dari layanglayang yang sudah kau terbangkan di pantai
Kau berbisik, kubawakan layanglayang ini untukmu
Kukirim kisah tentang hidup yang siap di terpa badai dan angin
lalu bergerak kemana arah mata angin membawa

Kita tertawa pada layanglayang berbentuk kupukupu hitam besar bernoktah kuning
yang menggantung di langit seperti terik yang mengirimkan cahaya dari balik hening

ada bayanganmu di sana
juga rindu yang menjelma doadoa
dan bersamamu kerinduanku meleleh seperti lilin yang terbakar api
seperti gelora ombak dan tarian kehidupan di antara awan dan kepakkepak camar

layanglayangmu di Slamaran mengurai mimpi dan kisahkisah panjang
jejak menapak di pasir lalu menghilang tersapu ombak
melepas tawa seusai siang menunggu hingga langit jingga
layanglayangmu kembali turun menyimpan gelisahnya sendiri

Slamaran dan debur ombak
mengabarkan terik siang dan kesiur angin

kita memang hanya mampu menelusuri pantai ini

Maret 2011

Kamis, 11 Oktober 2007

Wilson Tjandinegara


Wilson Tjandinegara
Lahir di Makassar, 1946, dan kini menetap di Tangerang. Seorang sastrawan dan budayawan, wartawan dan fotografer. 12 buku karyanya telah terbit, di antaranya 2 kumpulan puisi tunggal : “Puisi Untukmu” (1995) dan “Rumah Panggung di Kampung Halaman” (1999, dwi bahasa) Selebihnya kebanyakan karya sastra terjemahan dan juga kumpulan foto. Pendiri sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pemberantasan kemiskinan melalui pendidikan. Rencana dalam waktu dekat akan menerbitkan antologi puisi yang dipadukan dengan foto-foto “Elegi Akar Rumput”. Namanya tercantum dalam “Buku Pintar Sastra Indonesia” (2001) dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004). Antara lain puisinya


Terus Berupaya

Ketika anak-anak lain
Berkeluyuran di Mal-Mal mewah
Tergila-gila dengan game
Melahap lezatnya es krem

Di bawah terik mentari
Dalam busuknya tumpukan sampah
Demi sesuap nasi
Ia berjuang sebagai pemulung





Jangan Kira


Jangan kira
Jakarta penuh pencakar langit
Serba indah gemerlap

Justru di pusat kota
Ada sudut-sudut tersembunyi
Nampak wajah kumuh …


R.Hamsyah


Lahir di Lampung, 10 Oktober 1981. Alumnus Kesehatan, Jurusan Lingkungan Tanjungkarang Lampung tahun 2003. Pernah bekerja sebagai wartawan di salah satu surat kabar terbitan Lampung. Pernah mengikuti beberapa kali lomba penulisan, terakhir pada bulan Maret 2005 menjadi nominator dalam sayembara menulis puisi, atikel dan cerita rakyat Cipasera oleh Dewan Kesenian Cipasera Tangerang Banten. Sejumlah puisinya termuat di beberapa media massa seperti Harian Lampung Post, Harian Satelit News (Banten) Majalah Sabili, Dinamika dan Kriminal (Lampung). Salah satu puisinya :


Catatan Ayah

dan kau terlahir kembali
sebagai diriku
sebagai biji-biji batu
sebagai buah dari kenangan

aku mencari jejak lampau
dimana kau belajar pada hujan
mengakrapi wangian tanah
memanggil-manggil nenek moyang

adakah ibu tercipta
dari sepi ?
dan kau lahir mengisi ruang-ruang kosong
menjadi catatan pertamaku

Banten, Desember 2005

Husnul Khuluqi


Dilahirkan di Kampung Krapyak, Kecamatan Lumbir, Banyumas, Jawa Tengah. Puisi-puisinya telah dipublikasikan de berbagai media massa Indonesia dan Brunei Darussalam seperti Swadesi, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Koridor, Merdeka, Jurnal Puisi, Republika, Media Indonesia, Horison dan Bahana. Sedang antologi yang memuat puisinya adalah Trotoar (1996), Cisadane (1997), Antologi Puisi Indonesia 1997 (1997), Pabrik (1998), Resonansi Indonesia (2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2000), Cisadane 2 (2002), Bisikan Kata Teriakan Kota (2003), dan Senandung Wereng Di Ujung Benteng (2004). Oktober 1997 mengikuti Bengkel Puisi yang diadakan oleh Majelis Sastra Asia Tenggara. Desember 1997 mengikuti PSN IX di Kayutanam, Sumatera barat. April 1999 mengikuti PSN X di Johor Baru, Malaysia. Desember 2003 mengikuti Temu Sastra Jakarta. Dan Juli 2004 mengikuti Temu Sastrawan MPU di Anyer, Banten. Salah satu puisinya :



Perempuan yang Melintasi Kampung Sunyi

-sepenggal catatan dari Cihuni

engkau pergi melintasi kampung sunyi
menyapa keheningan batu-batu, rerumputan
hijau, dan reranting semak

sebuah kota yang lama tumbuh di kepalamu
mendadak muncul lagi, seperti lengkung pelangi
di senja hari, bermain di pelupuk matamu

melintasi perkampungan yang senantiasa lenggang
engkau serasa memasuki negeri tanpa tuan. negeri
yang tumbuh dalam dongeng, yang tak luput diceritakan
dari mulut ke mulut

di tapal batas, engkau hanya menemukan
gerbang kayu, mengering dibakar waktu, letih
seperti bocah kecil yang lama menunggu ibu

kota yang sekian lama tumbuh dikepalamu
seperti sesayup lagu jauh yang tak tersentuh, tak
juga bisa engkau masuki pintu-pintunya

Di manakah kota itu, tempat pijak denyut
jantungku? Di manakah negeri itu, tempat berlayar
seluruh mimpi-mimpiku?”

setengah berteriak engkau bertanya pada retak
tanah di bawah sengat matahari merah

2005

Herwan FR.


Lahir di Cerebon, 14 Juni 1971. Kumpulan puisinya : Peleburan Luka dan Hari-hari Perih. Novelnya : Bumi Perbatasan dan Mata Peremuan. Tercatat dalam Angkatan 2000, Malam Seribu Bulan, Datang Dari Masa Depan, Antologi Puisi Indonesia 1997, Leksikon Susastra Indonesia. Buku terbarunya : Apresiasi dan Kajian Puisi. Kini bekerja sebagai staf pengajar di Untirta Serang - Banten. Salah satu puisinya :


Setia Membidikmu


Demi pengakuan yang kelak kekal dan menyakitkan
aku setia membidikmu. Matamu menjadi kelereng
di atas lantai jiwa yang oleng oleh rindu yang dungu.
Sungsumku berhenti mermbeku. Aku kini lapar kembali
mencari kekasih. Tanganku menggenggam bukit,
menyentuh lahar yang ngalir di tiap kepundan gunung,
jari-jari merembah liar hutan-hutan tubuhmu.
Aku ingin menggambar lagi peta : daerah-daerah tak bertuan
Dan menjadi petualang pertama, menjelajah dengan perkasa.
Kulukis anak-anak di rahimmu dengan hidung panjang
seperti Pinokio, lalu kuhidupkan dengan bayangan,
dan kubiarkan berlarian menyusur
lereng-lereng betismu yang bagai bukit kapur

Dari keringat dan seribu gerak tubuhmu
aku pahami seribu cara bercinta. Lalu apalagi antara kau-aku,
guru-murid, setia bersulang dalam papa dan kegelapan ?
Demikian kuutarakan hasrat ini dengan kerongkongan
sedikit mau basah, jakun tertahan resah. Mataku
rabun oleh sudut lenganmu yang memijar.
Aku menjadi Ken Arok yang lumpuh
oleh betis Ken Dedes. Musnah dalam derajad pandang,
lurus menembus celah dadamu yang sempit dan menghimpit.

Lalu, aku nyala dan padam lagi-

Serang, 2005

Ahmad S.Rumi


Lahir 23 April 1978. Alumni ASAS UPI antologinya bersama “Ketika Matahari...” (1998), Jejak Langkah (2003), Cerita Negeri Bandung (2004). Dosen Bahasa dan Sastra di Universitas Mathla’ul Anwar dan STKIP Banten. Menulis puisi, resensi buku, esai, dan cerpen. Salah satu puisinya:


Ulang Tahun Ketiga

: PRD Golagong

sabtu yang siang
ciloang serang kepanasan
warga berduyunduyun
menyaksikan keramaian
sebab bupati datang
ingin menyaksikan kebudayaan

di atas panggung berjajar lukisan
tempat perupa pameran

tiba saatnya bupati meresmikan
sekedar ungkapan sambutan dan pembelian lukisan

warga bersoraksorai
melihat tuan golagong maju ke depan
karena tuan bupati menitipkan lukisan

selamat ulang tahun ketiga
pada perpustakaan rumah dunia
dan warga bertepuk tangan

Pandeglang, Serang 2005